Mamluk atau
Mameluk (
Bahasa Arab:
مملوك,
mamlūk (tunggal),
مماليك,
mamālīk (jamak)) adalah tentara budak yang telah memeluk
Islam dan berdinas untuk
khalifah Islam dan
Kesultanan Ayyubi pada
Abad Pertengahan. Mereka akhirnya menjadi tentara yang paling berkuasa dan juga pernah mendirikan
Kesultanan Mamluk di
Mesir.
Selayang pandang
Pasukan Mamluk pertama dikerahkan pada zaman
Abbasiyyah pada
abad ke-9. Bani Abbasiyyah merekrut tentara-tentara ini dari kawasan
Kaukasus dan
Laut Hitam dan mereka ini pada mulanya bukanlah orang Islam. Dari Laut Hitam direkrut
bangsa Turki dan kebanyakan dari
suku Kipchak.
Keistimewaan tentara Mamluk ini ialah mereka tidak mempunyai hubungan dengan golongan bangsawan atau pemerintah lain. Tentera-tentera Islam selalu setia kepada syekh, suku dan juga bangsawan mereka. Jika terdapat penentangan tentara Islam ini, cukup sulit bagi khalifah untuk menanganinya tanpa bantahan dari golongan bangsawan. Tentaa budak juga golongan asing dan merupakan lapisan yang terendah dalam masyarakat. Sehingga mereka tidak akan menentang khalifah dan mudah dijatuhkan hukuman jika menimbulkan masalah. Oleh karena itu, tentara Mamluk adalah aset terpenting dalam militer.
Organisasi
Setelah memeluk Islam, seorang Mamluk akan dilatih sebagai tentara berkuda. Mereka harus mematuhi
Furisiyyah, sebuah aturan perilaku yang memasukkan nilai-nilai seperti keberanian dan kemurahan hati dan juga doktrin mengenai taktik perang berkuda, kemahiran menunggang kuda, kemahiran memanah dan juga kemahiran merawat luka dan cedera.
Tentara Mamluk ini hidup di dalam komunitas mereka sendiri saja. Masa lapang mereka diisi dengan permainan seperti memanah dan juga persembahan kemahiran bertempur. Latihan yang intensif dan ketat untuk anggota-anggota baru Mamluk juga akan memastikan bahawa kebudayaan Mamluk ini abadi.
Setelah tamat latihan, tentara Mamluk ini dimerdekakan tetapi mereka harus setia kepada khalifah atau sultan. Mereka mendapat perintah terus dari khalifah atau sultan. Tentara Mamluk selalu dikerahkan untuk menyelesaikan perselisihan antara suku setempat. Pemerintah setempat seperti
amir juga mempunyai pasukan Mamluk sendiri tetapi lebih kecil dibandingkan pasukan Mamluk Khalifah atau Sultan.
Pada mulanya, status tentara Mamluk ini tidak boleh diwariskan dan anak lelaki tentara Mamluk dilarang mengikuti jejak langkah ayahnya. Di sebagian kawasan seperti
Mesir, tentara Mamluk mulai menjalin hubungan dengan pemerintah setempat dan akhirnya mendapat pengaruh yang luas.
Kemajuan di bidang Ilmu kemiliteran
Pada era Dinasti Al-Mamluk produksi buku mengenai ilmu militer itu berkembang pesat. Sedangkan, pada zaman
Shalahuddin, ada buku manual militer karya
AT-Thurtusi (570 H/1174 M) yang membahas keberhasilan menaklukan
Yerussalem. Semenjak awal
Islam memang menaruh perhatian khusus mengenai soal perang. Bahkan Nabi
Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah meminta agar para anak lelaki diajari berenang, gulat, dan berkuda. Berbagai kisah peperangan seperti legenda
Daud dan
Jalut juga dikisahkan dengan apik dalam
Al-Qur'an. Bahkan, ada satu surat di
Al-Qur'an yang berkisah tentang `heroisme’ kuda-kuda yang berlari kencang dalam kecamuk peperangan.
”Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah. Dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya). Dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. Maka, ia menerbangkan debu dan menyerbu ke tengah kumpulan musuh.” (Al-‘aAdiyat 1-4).
Kaum
muslim sebenarnya pun sudah menulis berbagai karya mengenai soal perang dan ilmu militer. Berbagai jenis buku mengenai
‘jihad’ dan pengenalan terhadap seluk beluk kuda, panahan, dan taktik militer. Salah satu buku yang terkenal dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Catologue yang merupakan karya
Ibnu Al-Nadim (wafat antara
380H-338 H/990-998 M).
Dalam karya itu, Al-Nadim menulis berbagai kategori mengenai cara menunggang kuda, menggunakan senjata, tentang menyusun pasukan, tentang berperang, dan menggunakan alat-alat persenjataan yang saat itu telah dipakai oleh semua bangsa. Karya semacam ini pun kemudian banyak muncul dan disusun pada masa
Khalifah Abbasiyah, misalnya oleh Khalifah
al-Manshur dan
al-Ma’mun. Bahkan, pada periode kekuasaan Daulah Al-Mamluk produksi buku mengenai ilmu militer itu berkembang sangat pesat. Minat para penulis semakin terpacu dengan keinginan mereka untuk mempersembahkan sebuah karya kepada kepada para sultan yang menjadi penguasa saat itu. Pembahasan sering dibahas adalah mengenai seluk beluk yang berkaitan dengan serangan bangsa
Mongol.
Pada zaman
Shalahuddin, ada sebuah buku manual militer yang disusun oleh
At-Tharsusi, sekitar
tahun 570 H/1174 M. Buku ini membahas mengenai keberhasilan
Shalahuddin di dalam memenangkan perang melawan bala
tentara salib dan menaklukan
Yerussalem. Buku ini ditulis dengan bahasa
Arab, meski sang penulisnya orang
Armenia. Manual yang ditulisnya selain berisi tentang penggunaan panah, juga membahas mengenai ‘mesin-mesin perang’ saat itu, seperti
mangonel (pelempar batu), alat pendobrak, menara-menara pengintai, penempatan pasukan di medan perang, dan cara membuat baju besi. Buku ini semakin berharga karena dilengkapi dengan keterangan praktis bagaimana senjata itu digunakan.
Buku lain yang membahas mengenai militer adalah karya yang ditulis oleh
Ali ibnu Abi Bakar Al Harawi (wafat
611 H/1214 M). Buku ini membahas secara detail mengenai soal taktik perang, organisasi militer, tata cara pengepungan, dan formasi tempur. Kalangan ahli militer di Barat menyebut buku ini sebagai sebuah penelitian yang lengkap tentang pasukan
muslim di medan tempur dan dalam pengepungan. Pada lingkungan militer Daulah Mamluk menghasilkan banyak karya tentang militer, khususnya keahlian menunggang kuda atau
fu'usiyyah. Dalam buku ini dibahas mengenai bagaimana cara seorang calon satria melatih diri dan kuda untuk berperang, cara menggunakan senjatanya, dan bagaimana mengatur pasukan berkuda atau kavaleri.
Contoh buku yang lain adalah karya
Al-Aqsara’i (wafat
74 H/1348 M) yang diterjemahkan kedalam
bahasa Inggris menjadi An End to Questioning and Desiring (Further Knowledge) Concering the Science of Horsemenship. Buku ini lebih komplet karena tidak hanya membahas soal kuda, pasukan, dan senjata, namun juga membahas mengenai doktrin dan pembahasan pembagaian rampasan perang.
Layanan Pos Ala Dinasti Mamluk
Layanan pos di era kejayaan
Islam tak hanya sekadar sebagai pengantar pesan.
Dinasti Mamluk yang berkuasa di
Mesir pada
1250 M hingga
1517 M juga menjadikan pos sebagai alat pertahanan. Guna mencegah invasi pasukan tentara
Mongol di bawah komando
Hulagu Khan pada medio abad ke-13 M, para insinyur
Mamluk membangun menara pengawas di sepanjang rute pos
Irak hingga
Mesir.
Di atas menara pengawas itu, selama 24 jam penuh para penjaga telah menyiapkan tanda-tanda bahaya. Jika bahaya mengancam di siang hari, petugas akan membakar kayu basah yang dapat mengepulkan asap hitam. Sedangkan di malam hari, petugas akan membakar kayu kering. Upaya itu ternyata tak sepenuhnya berhasil. Tentara
Mongol mampu menembus
Baghdad dan memorak-porandakan metropolis intelektual itu. Meski begitu, peringatan awal yang ditempatkan di sepanjang rute pos itu juga berhasil mencegah masuknya tentara
Mongol ke
Kairo,
Mesir.
Hanya dalam waktu delapan jam, berita pasukan
Mongol akan menyerbu
Kairo sudah diperoleh pasukan tentara
Muslim. Itu berarti, sama dengan waktu yang diperlukan untuk menerima telegram dari
Baghdad ke
Kairo di era modern. Berkat informasi berantai dari menara pengawas itu, pasukan Mamluk mampu memukul mundur tentara
Mongol yang akan menginvasi
Kairo. Menurut
Paul Lunde, layanan pos melalui jalur darat pada era kekuasaan
Dinasti Mamluk juga sempat terhenti ketika pasukan
Tentara Salib memblokir rute pos. Meski begitu, penguasa
Dinasti Mamluk tak kehabisan akal.
Sejak saat itu, kata dia,
Dinasti Mamluk mulai menggunakan merpati pos. Dengan menggunakan burung merpati sebagai pengantar pesan, pasukan
Tentara Salib tak dapat mencegah masuknya pesan dari
Kairo ke
Irak. Merpati pos mampu mengantarkan surat dari
Kairo ke
Baghdad dalam waktu dua hari, tutur Lunde. Sejak itu, peradaban Barat juga mulai meniru layanan pos dengan merpati seperti yang digunakan penguasa
Dinasti Mamluk.
Lunde menuturkan, pada
1300 M Dinasti Mamluk memiliki tak kurang dari 1.900 merpati pos. Burung merpati itu sudah sangat terlatih dan teruji mampu mengirimkan pesan ketempat tujuan. Seorang tentara Jerman bernama
Johan Schiltberger menuturkan kehebatan pasukan merpati pos yang dimiliki penguasa
Dinasti Mamluk.
Sultan Mamluk mengirim surat dengan merpati, sebab dia memiliki banyak musuh, cetus Schiltberger.
Dinasti Mamluk memang bukan yang pertama menggunakan merpati pos. Penggunaan merpati untuk mengirimkan pesan kali pertama diterapkan peradaban
Mesir kuno pada
2900 SM.
Pada masa kekuasaan
Dinasti Mamluk, merpati pos juga berfungsi untuk mengirimkan pesanan pos parcel. Al-kisah, penguasa Mamluk sangat puas dengan kiriman buah ceri dari
Lebanon yang dikirimkan ke
Kairo dengan burung merpati. Setiap burung merpati membawa satu biji buah ceri yang dibungkus dengan kain sutra. Pada masa itu, sepasang burung merpati pos harganya mencapai 1.000 keping emas. Layanan merpati pos ala
Dinasti Mamluk itu tercatat sebagai sistem komunikasi yang tercepat di abad pertengahan.
Masa Kekuasaan Daulah Mamalik di Mesir
Kalau ada negeri Islam yang selamat dari kehancuran akibat serangan-serangan bangsa
Mongol, baik serangan
Hulagu Khan maupun
Timur Lenk, maka negeri itu adalah
Mesir yang ketika itu berada di bawah kekuasaan dinasti Mamalik. Karena negeri ini terhindar dari kerhancuran, maka persambungan perkembangan peradaban dengan masa klasik relatif terlihat dan beberapa diantara prestasi yang pernah dicapai pada masa klasik bertahan di Mesir. Walaupun demikian, kemajuan yang dicapai oleh dinasti ini, masih di bawah prestasi yang pernah dicapai oleh umat Islam pada masa klasik. Hal itu mungkin karena metode berpikir tradisional sudah tertanam sangat kuat sejak berkembangnya aliran teologi
'Asy'ariyah, filsafat mendapat kecaman sejak pemikiran
al- Ghazali mewarnai pemikiran mayoritas umat Islam, dan yang lebih penting lagi adalah karena Baghdad dengan fasilitas-fasilitas ilmiahnya yang banyak memberi inspirasi ke pusat-pusat peradaban Islam, hancur.
Mamalik adalah jamak dari Mamluk yang berarti budak. Dinasti Mamalik memang didirikan oleh para budak. Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa dinasti
Ayyubiyah sebagai budak, kemudian dididik dan dijadikan tentaranya. Mereka ditempatkan pada kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Oleh penguasa
Ayyubiyah yang terakhir,
al-Malik al-Salih, mereka dijadikan pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Pada masa penguasa ini, mereka mendapat hak-hak istimewa, baik dalam karier ketentaraan maupun dalam imbalan-imbalan material. Pada umumnya mereka berasal dari daerah
Kaukasus dan
Laut Kaspia. Di
Mesir mereka ditempatkan di pulau
Raudhah di Sungai
Nil untuk menjalani latihan militer dan keagamaan. Karena itulah, mereka dikenal dengan julukan
Mamluk Bahri. Saingan mereka dalam ketentaraan pada masa itu adalah tentara yang berasal dari
suku Kurdi.
Ketika
al-Malik al-Salih meninggal
(1249 M), anaknya,
Turansyah, naik tahta sebagai Sulthan. Golongan Mamalik merasa terancam karena
Turansyah lebih dekat kepada tentara asal
Kurdi daripada mereka. Pada tahun
1250 M Mamalik di bawah pimpinan
Aybak dan
Baybars berhasil membunuh
Turansyah. Istri
al-Malik al-Salih,
Syajarah al-Durr, seorang yang juga berasal dari kalangan Mamalik berusaha mengambil kendali pemerintahan, sesuai dengan kesepakatan golongan Mamalik itu. Kepemimpinan
Syajarah al-Durr berlangsung sekitar tiga bulan. Ia kemudian kawin dengan seorang tokoh Mamalik bernama
Aybak dan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya sambil berharap dapat terus berkuasa di belakang tabir. Akan tetapi segera setelah itu
Aybak membunuh
Syajarah al-Durr dan mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan. Pada mulanya,
Aybak mengangkat seorang keturunan penguasa
Ayyubiyah bernama Musa sebagai Sultan "syar'i" (formal) disamping dirinya yang bertindak sebagai penguasa yang sebenarnya. Namun, Musa akhirnya dibunuh oleh
Aybak. Ini merupakan akhir dari dinasti
Ayyubiyah di Mesir dan awal dari kekuasaan dinasti Mamalik.
Aybak berkuasa selama tujuh tahun
(1250-1257 M). Setelah meninggal ia digantikan oleh anaknya, Ali yang masih berusia muda. Ali kemudian mengundurkan diri pada tahun
1259 M dan digantikan oleh wakilnya,
Qutuz. Setelah
Qutuz naik tahta,
Baybars yang mengasingkan diri ke
Syria karena tidak senang dengan kepemimpinan
Aybak kembali ke
Mesir. Di awal tahun
1260 M Mesir terancam serangan bangsa
Mongol yang sudah berhasil menduduki hampir seluruh dunia Islam. Kedua tentara bertemu di
Ayn Jalut, dan pada tanggal
13 September 1260 M, tentara Mamalik di bawah pimpinan
Qutuz,
Baybars dan
Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah Rahimahullah berhasil menghancurkan pasukan
Mongol tersebut. Kemenangan atas tentara Mongol ini membuat kekuasaan Mamalik di
Mesir menjadi tumpuan harapan umat Islam di sekitarnya. Penguasa-penguasa di
Syria segera menyatakan sumpah setia kepada penguasa Mamalik.
Tidak lama setelah itu
Qutuz meninggal dunia.
Baybars, seorang pemimpin militer yang tangguh dan cerdas, diangkat oleh pasukannya menjadi Sultan
(1260- 1277 M). Ia adalah sultan terbesar dan termasyhur diantara Sultan Mamalik. Ia pula yang dipandang sebagai pembangun hakiki dinasti Mamalik.
Sejarah daulah ini hanya berlangsung sampai tahun
1517 M, ketika dikalahkan oleh
Bani Utsmani, Daulah ini dibagi menjadi dua periode :
Pertama, periode kekuasaan
Mamluk Bahri, sejak berdirinya
(1250 M) sampai berakhirnya pemerintahan
Hajji II tahun
1389 M.
Kedua periode kekuasaan
Mamluk Burji, sejak berkuasanya
Burquq untuk kedua kalinya tahun
1389 M sampai kerajaan ini dikalahkan oleh
Bani Utsmani tahun
1517 M.
Daulah Mamalik membawa warna baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer, kecuali dalam waktu yang singkat ketika
Qalawun (1280-1290 M) menerapkan pergantian sultan secara turun temurun. Anak
Qalawun berkuasa hanya empat tahun, karena kekuasaannya direbut oleh
Kitbugha (1295- 1297 M). Sistem pemerintahan oligarki ini banyak mendatangkan kemajuan di
Mesir. Kedudukan amir menjadi sangat penting. Para amir berkompetisi dalam prestasi, karena mereka merupakan kandidat sultan. Kemajuan-kemajuan itu dicapai dalam bebagai bidang, seperti konsolidasi pemerintahan, perekonomian, dan ilmu pengetahuan.
Dalam bidang pemerintahan, kemenangan dinasti Mamalik atas tentara
Mongol di
'Ayn al-Jalut menjadi modal besar untuk menguasai daerah-daerah sekitarnya. Banyak penguasa-penguasa dinasti kecil menyatakan setia kepada kerajaan ini. Untuk menjalankan pemerintahan di dalam negeri, Baybars mengangkat kelompok militer sebagai elit politik. Disamping itu, untuk memperoleh simpati dari kerajaan-kerajaan Islam lainnya,
Baybars membaiat keturunan
Bani Abbas yang berhasil meloloskan diri dari serangan bangsa
Mongol,
al-Mustanshir sebagai
khalifah. Dengan demikian,
khilafah Abbasiyah, setelah dihancurkan oleh tentara Hulaghu di
Baghdad, berhasil dipertahankan oleh daulah ini dengan
Kairo sebagai pusatnya. Sementara itu, kekuatan-kekuatan yang dapat mengancam kekuasaan
Baybars dapat dilumpuhkan, seperti tentara Salib di sepanjang Laut Tengah,
Assasin di pegunungan
Syria,
Cyrenia (tempat berkuasanya orang-orang
Armenia), dan kapal-kapal
Mongol di
Anatolia.
Dalam bidang ekonomi, dinasti Mamalik membuka hubungan dagang dengan
Perancis dan
Italia melalui perluasan jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh dinasti
Fathimiyah di
Mesir sebelumnya. Jatuhnya
Baghdad menjadikan kota
Kairo sebagai jalur perdagangan antara
Asia dan
Eropa, dan menjadi lebih penting karena
Kairo menghubungkan jalur perdagangan
Laut Merah dan
Laut Tengah dengan
Eropa. Disamping itu, hasil pertanian juga meningkat. Keberhasilan dalam bidang ekonomi ini didukung oleh pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi antarkota, baik laut maupun darat. Ketangguhan angkatan laut Mamalik sangat membantu pengembangan perekonomiannya.
Di bidang ilmu pengetahuan,
Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan asal
Baghdad dari serangan tentara
Mongol. Karena itu, ilmu-ilmu banyak berkembang di
Mesir, seperti sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan ilmu agama. Dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama besar, seperti
Ibn Khalikan,
Ibn Taghribardi, dan
Ibn Khaldun. Di bidang astronomi dikenal nama
Nashiruddin ath-Thusi. Di bidang matematika
Abul Faraj al-'Ibry . Dalam bidang kedokteran:
Abul Hasan 'Ali an-Nafis, penemu susunan dan peredaran darah dalam paru-paru manusia,
Abdul Mun'im ad-Dimyathi, seorang dokter hewan, dan
Ar-Razi’, perintis psykoterapi. Dalam bidang opthalmologi dikenal nama
Shalahuddin ibn Yusuf. Sedangkan dalam bidang ilmu keagamaan, tersohor nama
Syaikhul Islam ibn Taimiyah Rahimahullah, seorang mujaddid, mujahid dan ahli hadits dalam Islam, Imam
As-Suyuthi Rahimahullah yang menguasai banyak ilmu keagamaan, Imam
Ibn Hajar al-'Asqalani Rahimahullah dalam ilmu hadits, ilmu fiqih dan lain-lain.
Daulah Mamalik juga banyak mengalami kemajuan di bidang arsitektur. Banyak arsitek didatangkan ke Mesir untuk membangun sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang indah. Bangunan-bangunan lain yang didirikan pada masa ini diantaranya adalah rumah sakit, museum, perpustakaan, villa-villa, kubah dan menara masjid.
Kemajuan-kemajuan itu tercapai berkat kepribadian dan wibawa Sulthan yang tinggi, solidaritas sesama militer yang kuat, dan stabilitas negara yang aman dari gangguan. Akan tetapi, ketika faktor-faktor tersebut menghilang, daulah Mamalik sedikit demi sedikit mengalami kemunduran. Semenjak masuknya budak-budak dari
Sirkasia yang kemudian dikenal dengan nama
Mamluk Burji yang untuk pertama kalinya dibawa oleh
Qalawun, solidaritas antar sesama militer menurun, terutama setelah
Mamluk Burji berkuasa. Banyak penguasa
Mamluk Burji yang bermoral rendah dan tidak menyukai ilmu pengetahuan. Kemewahan dan kebiasaan berfoya-foya di kalangan penguasa menyebabkan pajak dinaikkan. Akibatnya, semangat kerja rakyat menurun dan perekonomian negara tidak stabil. Disamping itu, ditemukannya
Tanjung Harapan oleh kaum
Eropa tahun 1498 M, menyebabkan jalur perdagangan Asia-Eropa melalui
Mesir menurun fungsinya. Kondisi ini diperparah oleh datangnya kemarau panjang dan berjangkitnya wabah penyakit.
Di pihak lain, suatu kekuatan politik baru yang besar muncul sebagai tantangan bagi Mamalik, yaitu
Daulah Bani Utsmani. Kerajaan inilah yang mengakhiri riwayat Mamalik di
Mesir. Dinasti Mamalik kalah melawan pasukan
Utsmani dalam pertempuran menentukan di luar kota
Kairo tahun
1517 M . Sejak itu wilayah Mesir berada di bawah kekuasaan Kesultanan
Bani Utsmani sebagai salah satu propinsinya.
Wallahul Musta’an.
Pembubaran Mamalik
Dimasa kekuasaan Muhammad Ali Mamalik dibubarkan melalui pembantaian dalam sebuah pesta kenegaraan di
Al-Qal'ah pada 11 Maret 1811 M. Ketika para perwiwa tinggi mamlik telah berkumpul di pesta kenegaraan Muhammad Ali memrintahkan para pengawalnya untuk mengunci semua pintu dan dan dengan serentak menembaki para perwira Mamalik, Jumlah perwira yang dibantai mencapai 1000 orang tanpa seorangpun dari mereka dapat lolos. Pembantaian ini memang keji namun Muhammad Ali memandang pada sejarah Mamalik yang sering melakukan penghianatan dan penggulingan kekuasaan berdarah.
Seperti nama pasukan yang ada di permainan age of empires 2 ya kawan.
Sumber Wikipedia